PETA
KONSEP TEORI BELAJAR/ALUR PIKIR SISWA
Disusun
untuk memenuhi tugas matakuliah Pengembangan Learning Trajectory Peserta Didik
Dosen
: Prof. Dr. Marsigit, MA
Oleh:
NAMA : SULISTIYA INGWARNI
NIM :
14712259008
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2015
REVIEW
TEORI BELAJAR
1)
Behaviorism
Theory
1.
Hakikat
Behaviorisme
Behaviorisme
merupakan salah satu pendekatan di dalam psikologi pendidikan yang didasari
keyakinan bahwa anak dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
orang yang membentuknya. Dengan demikian, perkembangan anak sangat ditentukan
oleh faktor yang berada di luar diri anak, bukan dari faktor yang berasal dari
dalam diri anak. Selanjutnya semua tindakan pendidikan ditentukan secara
sepihak, yaitu pendidik dan anak dianggap sebagai objek pendidikan.
2.
Teori-teori
behaviorisme
a.
Ivan
Pavlov: Classical Conditioning
Ivan
Pavlov (1849-1936), psikolog Rusia adalah yang pertama kali meneliti perilaku
makhluk hidup berdasarkan classical
conditioning atau pengkondisian lingkungan secara klasik. Hasil penemuan
Pavlov melalui penelitiannya, yaitu classical
conditioning merupakan temuan penting di dalam sejarah perkembangan
psikologi karena temuan tersebut meletakkan dasar-dasar behavioral psychology. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam classical conditioning masih tetap
diterapkan dalam berbagai modifikasi perilaku di dalam pendidikan. Misalnya
rasa takut terhadap pelajaran matematika diubah menajdi rasa senang dengan
pelajaran matematika.
b.
Edward
Lee Thorndike
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
c.
J.B Watson: Behavioral
Psychology
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui
adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
d.
B.F.
Skinner: Operant conditioning
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar
secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
e.
Edwien
Guthrie
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
f.
Clark
Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus
dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup.
Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
3.
Penerapan
Behaviorisme dalam pendidikan dan pembelajaran
1)
Modifikasi
Perilaku
Modifikasi
perilaku perlu dilakukan oleh para pendidik dalam mengatur ketertiban kelas
dalam suatu proses pembelajaran.
2)
Pembelajaran
berbasis behaviorisme
Penerapan
teori behaviorisme di dalam pembelajaran dimulai dengan melakukan analisis
kebutuhan siswa, kemudian dilanjutkan dengan menetapkan tujuan pendidikan atau
pembelajaran.
3)
Pembelajaran
Berdasarkan Sistem
Pendekatan
system mencakup penetapan tujuan umum dan tujuan khusus, yang didikuti dengan
kegiatan menganalisis sumber daya yang diperlukan merencanakan kegiatan
pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang dilakukan secara berkesinambungan
dan hasil evaluasi dijadikan dasar untuk melakukan berbagai perubahan yang
diperlukan.
4)
Pembelajaran
Terprogram
Pembelajaran
terprogram merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang deprogram secara
khusus dengan tujuan agar peserta didik dapat membelajarkan dirinya sendiri.
2)
Social
Cognitive Theory
Bandura (1986) mengembangkan dan mendefinisikan
teori sosial kognitif yang mengusulkan bahwa orang-orang tidak didorong oleh
kekuatan batin atau secara otomatis dibentuk dan dikendalikan oleh rangsangan
eksternal. Sebaliknya, fungsi manusia dijelaskan dalam hal model determinisme
timbal balik triadic. Dalam model ini, yang dapat divisualisasikan sebagai
sebuah segitiga sama sisi, perilaku, kognitif dan faktor personal lainnya dan
peristiwa lingkungan semua beroperasi sebagai penentu berinteraksi satu sama
lain. Sifat orang kemudian didefinisikan dalam perspektif triadic ini.
Timbal
balik merujuk pada aksi saling sementara determinisme menandakan produksi efek.
Karena banyaknya berinteraksi pengaruh dalam tiga serangkai, kondisi yang
berbeda dapat menyebabkan atau membantu efek yang berbeda.
Oleh
karena itu sifat orang yang muncul adalah unik meskipun semua orang
didefinisikan dalam tiga serangkai. Karena orang-orang memiliki diri
capablilities direktif mereka mampu melakukan kontrol yang signifikan atas
pikiran mereka, perasaan dan tindakan. Fungsi pengaturan diri ini merupakan
bagian penting dari teori kognitif sosial. Ada interaksi yang berkelanjutan
antara diri-yang dihasilkan dan sumber eksternal pengaruh. Orang membuat panduan
untuk perilaku mereka, motivator diri untuk kursus tindakan dan kemudian
menanggapi perilaku mereka dengan cara evaluatif diri. Sangat sering standar
yang digunakan untuk menilai perilaku didasarkan pada reaksi orang lain yang
signifikan dengan perilaku ini.
Penelitian
atas mana teori ini terletak mengandung banyak sisi yang membantu menjelaskan
bagaimana orang memperoleh pengetahuan tentang perilaku sosial manusia yang
diperlukan agar dapat berfungsi. Salah satu aspek improtant pembelajaran sosial
manusia adalah modeling.
Pada tahun 1963 Bandura dan Walters pertama kali
menggunakan pembelajaran sosial jangka untuk menunjukkan bahwa pembelajaran
akan sangat membosankan jika orang harus bergantung pada trial and error untuk
belajar. Untungnya, sebagian besar perilaku manusia dipelajari observasional
melalui pemodelan.
Konseptualisasi Bandura pemodelan jauh lebih
komprehensif daripada sebelumnya dan berisi ketentuan untuk mengembangkan
pemikiran baru dan kreatif. Dia menyarankan kita mengamati orang lain dan
menyandikan informasi yang akan berfungsi sebagai panduan untuk tindakan
selanjutnya. Modeling adalah metode yang sangat efisien pembelajaran sosial
yang bisa dilakukan dialami sendiri, hanya melalui pengamatan orang lain.
Kelima jenis perilaku sosial yang dapat dipelajari dengan cara ini adalah 1.
keterampilan kognitif baru dan perilaku; 2. diperkuat atau melemah hambatan
dipelajari sebelumnya; 3. prompt sosial atau bujukan; 4. bagaimana menggunakan
lingkungan; 5. ketika menjadi terangsang dan apa reaksi emosional untuk
mengekspresikan. (Tuckman, 1992)
Semua variasi ini memungkinkan Bandura untuk
menetapkan bahwa ada langkah-langkah tertentu yang terlibat dalam proses
pemodelan:
1)
Perhatian.
2)
Retensi.
3)
Reproduksi.
4)
Motivasi.
Self Efficacy adalah konsep utama dalam teori
Bandura perilaku dan motivasi. Menurut Bandura self efficacy adalah penilaian
seseorang tentang kemampuan sendiri untuk melakukan suatu tindakan berhasil.
Teori Bandura memprediksi bahwa orang akan memilih, bertahan dalam, dan
mengeluarkan usaha pada tugas-tugas yang mereka percaya bahwa mereka dapat
melaksanakan dengan sukses. Teori ini juga menunjukkan bahwa orang akan
menghindari situasi yang mereka percaya melebihi kemampuan mengatasi mereka.
Bandura lanjut berteori bahwa rasa yang baik self efficacy memberikan ketahanan
bagi individu kreatif untuk bertahan dalam persuing tujuan bahkan setelah
ditolak berkali-kali. Orang harus memiliki perasaan yang cukup kuat dari self
efficacy hari ini karena kompleksitas masyarakat saat ini. Jadi selain
keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi dalam masyarakat ditambahkan
kebutuhan rasa cukup kuat self efficacy.
Di sekolah hari ini telah menjadi semakin penting
bagi guru untuk memikul tanggung jawab untuk mengajarkan keterampilan sosial
dan perilaku yang baik. Tampaknya Bandura teori, penelitian dan keyakinan semua
akhirnya menyibukkan diri dengan pemberdayaan orang di masyarakat yang adil dan
peduli, tujuan yang sama seperti semua pendidik memiliki di dalam kelas. Tujuan
ini adalah pemberdayaan anak-anak untuk berpikir dan bertindak secara mandiri
dengan cara yang murah hati.
3)
Cognitive
Information Processing
Teori
ini disampaikan oleh Robert Gagne (1970) dan berpendapat bahwa proses belajar
adalah suatu proses dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan
mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya.
Terdapat
8 tingkatan kemampuan belajar, dimana kemampuan belajar pada tingkat tertentu
ditentukan oleh kemampuan belajar ditingkat sebelumya. Adapun 8 tingkatan
belajar tersebut antara lain :
1) Signal Learning
Dari signal yang
dilihat/didengarnya, anak akan memberi respon tertentu.
2)
Stimulus – Response Learning
Seorang anak yang
memberikan respon fisik atau vokal setelah mendapat stimulus – respon yang
sederhana.
3) Chaining
Kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar stimulus – respon yang sederhana. Channing terbatas hanya pada serangkaian gerak (bukan serangkaian produk bahasa lisan.
Kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar stimulus – respon yang sederhana. Channing terbatas hanya pada serangkaian gerak (bukan serangkaian produk bahasa lisan.
4)
Verbal
Association
Bentuk penggabungan hasil belajar yang
melibatkan unit bahasa seperti memberi nama sebuah objek / benda.
5) Multiple Discrimination
Kemampuan siswa
untuk menghubungkan beberapa kemampuan chainning sebelumnya.
6) Concept
Learning
Belajar konsep
artinya anak mampu memberi respon terhadap stimulus yang hadir melalui
karakteristik abstraknya. Melalui pemahaman konsep siswa mampu
mengidentifikasikan benda lain yang berbeda ukuran, warna, maupun materinya,
namun masih memiliki kararkteristik dari objek itu sendiri.
7) Principle Learning
Kemampuan siswa
untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lainnya.
8)
Problem Solving
Siswa mampu
menerapkan prinsip-prinsip yang telah dipelajari untuk mencapai satu sasaran.
Adapun terdapat tiga komponen utama
dalam pemrosesan informasi, yaitu :
·
MEMORI JANGKA PENDEK
·
MEMORI JANGKA PANJANG
·
REGISTER PENGINDERAAN
Penyebab lupa yang
terjadi pada proses interferensi, yaitu :
·
Hambatan Proaktif : Dimana berinterferensi
dengan tugas yang dipelajari kemudian
·
Hambatan Retroaktif : Dimana apabila mempelajari
suatu tugas kedua membuat seseorang lupa apa yang telah dipelajari sebelumnya
4)
Meaningfull
Learning Theory
Teori
yang disampaikan oleh David Ausubel (1969). Beliau berpendapat bahwa guru harus
dapat mengembangkan potensi kongitif siswa melalui proses belajar yang
bermakna. Bermakna yaitu materi pelajaran yang baru match dengan konsep yang
ada dalam struktur kognisi siswa.
Sama
seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa,
terutama meraka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau
mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun siswa pada pendidikan
lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Langkah-langkah
yang biasanya dilakukan untuk menerapkan belajar bermakna Ausebel sebagai
berikut :
1) Advance
Organizer (Handout)
Penyampaian awal
tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan
siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan
disampaikan guru.
2) Progressive
Differensial
Materi pelajaran
yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep
yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan
contoh-contoh.
3)
Integrative Reconciliation
Penjelasan yang
diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah
mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4) Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.
5)
Developmental
Approach
1. Prinsip-Prinsip
Perkembangan menurut Jamaris(2012):
a. Manusia
berkembang dengan kecepatan yang berbeda.
Seorang
guru dalam suatu kelas sangat dekat dengan berbagai pengalaman tentang
perbedaan dalam kecepatan perkembangan. Misalnya, seorang siswa berkembang
sangat cepat dalam melakukan koordinasi gerakan motorik kasar. Motorik halus,
dan koordinasi visual motorik. Ia dapat berlari sambil melempar atau menangkap
bola, sementara siswa lainnya cepat matang dalam berpikir dan dalam melakukan
interaksi sosial dengan baik.
b. Manusia
berkembang dengan urutan perkembangan yang teratur.
Anak
balita dapat berjalan setelah ia merambat, dan kemampuan merambat baru dapat
dikuasai anak balita setelah ia menyelesaikan tugas-tugas perkembangan motorik
sebelumnya yaitu merangkak. Usia remaja baru dapat dimasuki anak setelah ia
melalui usia dini dan usia anak-anak.
c. Perkembangan
berlangsung dengan proses yang bertahap.
Oleh
sebab itu, suatu perkembangan tidak mungkin terjadi dalam waktu satu hari saja.
Seorang anak yang tidak dapat menulis, memerlukan waktu untuk dapat melakukan
kegiatan menulis, karena kegiatan menulis membutuhkan pra syarat, yaitu
kemampuan memegang pensil dengan baik dan kemampuan mengenal dan memahami huruf
dan alphabet yang dapat dirangkai menjadi kata yang berarti, serta kemampuan
untuk memusatkan perhatian.
2. Perkembangan
Kognitif menurut Jean Piaget
Pusat
teori Piaget adalah pada empat tahap perkembangan yang terjadi pada anak-anak.
Brikut grafik perkembangan kognitif menurut Jean Piaget:
Ø Fase Sensorimotorik (lahir-2 thn)
·
Kecerdasan
ini ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan simbol-simbol.
·
Pengetahuan
tentang dunia terbatas karena didasarkan pada interaksi fisik / pengalaman.
·
Anak-anak
mendapatkan objek permeance sekitar 7 bulan.
·
Pembangunan
fisik (mobilitas) memungkinkan anak untuk mulai mengembangkan kemampuan
intelektual baru.
·
Beberapa
simbolik (bahasa) kemampuan yang dikembangkan pada akhir tahap ini.
Ø Fase Pra Operasional (2-7 thn)
·
Intelijen
ditunjukkan melalui penggunaan simbol-simbol, penggunaan bahasa dewasa, dan
memori dan imajinasi dikembangkan.
·
Berpikir
dilakukan dalam nonlogical, cara nonreversable.
·
Dominan
Berpikir egosentris
Ø Fase Operasional Konkret (7-11 thn)
·
Kecerdasan
ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dan sistematis simbol yang berkaitan
dengan benda-benda konkrit.
·
Pemikiran
operasional berkembang (tindakan mental yang bersifat reversibel).
·
Pemikiran
egosentris berkurang.
Ø Fase Operasional Formal (7 thn
keatas)
·
Kecerdasan
ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dari simbol yang berkaitan dengan
konsep-konsep abstrak.
·
Pada
awal periode ini ada kembali ke pemikiran egosentris.
·
Banyak
orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini.
3.
Perkembangan
Kognitif menurut Bruner
Jerome Bruner menyatakan bahwa proses perkembangan
kognitif sejalan dengan perkembangan anak. Perkembangan kognitif menurut Bruner
adalah perkembangan kemampuan berpikir yang berlangsung secara setahap demi
setahap. Perkembangan kemampuan berpikir tersebut memerlukan interaksi anak
dengan lingkungannya, yang disebutnya sebagai interaksi antara kemampuan yang
ada di dalam diri manusia dengan lingkungan di sekitarnya dan berlangsung dalam
waktu yang panjang. Hal ini disebabkan karena proses perkembangan kemampuan
berpikir atau proses perkembangan intelligence berlangsung sejalan dengan proses
belajar. Dalam hal ini, melalui proses belajar, anak secara perlahan dan
terus-menerus mengorganisasi lingkungannya ke dalam berbagai unit yang
bermakna, proses ini disebut Bruner sebagai proses konseptualisasi dan
kategorisasi konsep yang tersusun dalam memori. Susunan konsep dan kategori
tentang lingkungan tersebut disebut schemata.
Konsep dan kategori konsep dibangun melalui berbagai pengalaman dan melalui
prosedur yang disebutnya coding, yang
menjelaskan hubungan antara konsep umum dengan konsep khusus.
Perkembangan kognitif menurut Bruner dibagi menjadi
3 fase yaitu:
1)
Enactive
Enactive representation
berkaitan dengan cara yang digunakan anak dalam membangun kemampuan kogntifnya
atau kemampuan berpikirnya melalui pengalaman empirik atau nyata. Misalnya, anak
akan mengerti nama suatu makanan apabila makanan tersebut ditunjukkan kepadanya
dan disebutkan namanya,
2)
Iconic
Iconic representation
berkaitan kemampuan manusia dalam menyimpan pengalaman empiric di dalam
ingatannya. Anak yang telah mencapai kemampuan ini sudah dapat menyebutkan nama
benda dan peristiwa yang ditampilkan melalui gambar, atau untuk mengekspresikan
pikirannya , anak dapat menggunakan gambar yang dibuatnya.
3)
Symbolic
Symbolic representation
berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami konsep dan peristiwa yang
disajikan melalui bahasa. Pernyataan yang diungkapkan melalui bahasa yang
mengandung konsep dan karakteristik konsep serta makna yang berkaitan dengan
konsep tersebut. Dalam fase ini, anak telah mampu berpikir secara abstrak.
4. Vygotsky: ZPD (Zone of Proximal
Development)
Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai jarak anatara
kemampuan yang dikuasai yang tercermin dari kemampuan dalam memecahkan amsalah
secara mandiri dan kemampuan yang sedang berkembang dan membutuhkan pertolongan
melalui interaksi social, yang dapat dilihat dari kemampuan anak dalam
memecahkan amsalah dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang telah
memiliki kemampuan tersebut. Vygotsky meyakini bahwa bila siswa berada dalam
area ZPD untuk tugas-tugas belajar tertentu maka perlu diberikan bantuan atau
scaffolding, tanpa bantuan tersebut, maka siswa akan mendapatkan berbagai
kesulitan dan kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar tersebut
dengan baik. Apabila siswa telah menguasai tugas-tugas yang dipelajarinya, maka
scaffolding ditiadakan dan untuk selanjutnya siswa dapat menyelesaikan
tugas-tugas balajar tersebut sendiri dengan baik.
6)
Social
Formation Theory
Konstruktivisme sosial telah dipelajari oleh banyak
psikolog pendidikan, yang peduli dengan implikasinya terhadap pengajaran dan
pembelajaran. Konstruktivisme sosial meluas konstruktivisme dengan memasukkan
peran aktor-aktor lain dan budaya dalam pembangunan. Dalam hal ini juga dapat
dibandingkan dengan teori pembelajaran sosial dengan menekankan interaksi
melalui observasi.
Strategi pembelajaran didasarkan pada
konstruktivisme sosial yang merupakan area penelitian aktif adalah pembelajaran
kolaboratif yang didukung komputer (CSCL). Strategi ini memberikan siswa
kesempatan untuk berlatih keterampilan abad ke-21 dalam komunikasi, berbagi
pengetahuan, pemikiran kritis dan penggunaan teknologi yang relevan yang
ditemukan di tempat kerja.
Selain itu, studi pada peningkatan penggunaan
diskusi siswa di dalam kelas baik dukungan dan didasarkan pada teori
konstruktivisme sosial. Ada berbagai keuntungan yang dihasilkan dari
pelaksanaan diskusi di kelas. Berpartisipasi dalam diskusi kelompok memungkinkan
siswa untuk menggeneralisasi dan mentransfer pengetahuan mereka tentang
pembelajaran di kelas dan membangun fondasi yang kuat untuk mengkomunikasikan
ide-ide secara lisan. Banyak penelitian berpendapat diskusi yang memainkan
peran penting dalam meningkatkan kemampuan siswa untuk menguji ide-ide mereka,
mensintesis ide-ide lain, dan membangun pemahaman yang lebih dalam apa yang
mereka pelajari. Besar dan kecil diskusi kelompok juga mampu siswa kesempatan
untuk melatih self-regulation, penentuan nasib sendiri, dan keinginan untuk
bertahan dengan tugas-tugas . Selain itu, diskusi meningkatkan motivasi siswa,
keterampilan kolaboratif, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Meningkatkan
kesempatan siswa untuk berbicara dengan satu sama lain dan mendiskusikan
ide-ide mereka meningkatkan kemampuan mereka untuk mendukung pemikiran mereka,
mengembangkan keterampilan penalaran, dan untuk berdebat pendapat mereka
persuasif dan hormat. Selain itu, perasaan masyarakat dan kolaborasi di dalam
kelas meningkat melalui penawaran lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk
berbicara bersama-sama.
Mengingat keuntungan yang dihasilkan dari diskusi,
cukup mengejutkan bahwa itu tidak digunakan lebih sering. Studi telah menemukan
bahwa siswa tidak teratur terbiasa berpartisipasi dalam wacana akademik.
Nystrand (1996) berpendapat bahwa guru jarang memilih diskusi kelas sebagai
format instruksional. Hasil penelitian (1996) tiga tahun Nystrand yang berfokus
pada 2400 siswa di 60 kelas yang berbeda menunjukkan bahwa guru kelas khas menghabiskan
kurang dari tiga menit satu jam memungkinkan siswa untuk berbicara tentang
ide-ide dengan satu sama lain dan guru. Bahkan dalam mereka tiga menit diskusi,
kebanyakan bicara tidak benar karena diskusi itu tergantung pada pertanyaan
guru-diarahkan dengan jawaban yang telah ditentukan. Beberapa pengamatan
menunjukkan bahwa siswa di sekolah sosial ekonomi rendah dan kelas track yang
lebih rendah diperbolehkan bahkan lebih sedikit kesempatan untuk diskusi. Guru
yang mengajar seolah-olah mereka menghargai apa yang siswa mereka berpikir
membuat peserta didik. Diskusi dan wacana interaktif mempromosikan belajar
karena mereka mampu siswa kesempatan untuk menggunakan bahasa sebagai
demonstrasi pikiran independen mereka. Diskusi memunculkan tanggapan berkelanjutan
dari siswa yang mendorong berarti keputusan melalui negosiasi dengan ide-ide
orang lain. Jenis pembelajaran "mempromosikan retensi dan mendalam
pemrosesan yang terkait dengan manipulasi kognitif informasi".
Salah satu cabang baru-baru ini bekerja menjelajahi
perspektif konstruktivis sosial pada pembelajaran berfokus pada peran teknologi
sosial dan media sosial dalam memfasilitasi generasi pengetahuan sosial
dibangun dan pemahaman dalam lingkungan online.
7)
Representation
and Discovery Learning
Teori
Belajar Penemuan (Discovery Learning). Teori ini disampaikan oleh Jerome Bruner
(1966). Merupakan suatu pendekatan dalam belajar, dimana siswa berinteraksi
dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat
dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan. Ide dasar
dari teori ini adalah siswa akan mudah mengingat suatu konsep jika konsep
tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan. (Prinsip
belajar : selidiki/inquiri dan temukan/discover).
Jerome
Bruner juga memperkenalkan konsep perkembangan kognisi anak-anak yang mewakili
3 bentuk representasi:
Enactive:
Pengetahuan anak diperoleh dari aktivitas gerak yang dilakukannya seperi
pengalaman langsung atau kegiatan konkrit
Iconic:
Masa ketika pengetahuan anak diperoleh melalui sajian gambar atau grafis
lainnya seperti film dan gambar statis.
Symbolic:
Suatu tahap dimana anak mampu memahami atau membangun pengetahuan melalui
proses bernalar dengan menggunakan simbol bahasa seperti kata-kata atau
simbolisasi abstrak lainnya.
8)
Constructivist
Approach
Pada dasarnya pengetahuan yang kita miliki adalah
konstruktivisme (bentukan) kita sendiri (Von Glaseserfeld, 1996). Seseorang
yang belajar akan membentuk pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan
apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian baik
secara personal maupun sosial (Resnick, 1983 ; Bettencourt, 1989). Pengetahuan
tersebut dibentuk melalui interaksi dengan lingkungannya.
Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka
pembelajar harus bisa menemukan, mengorganisir, menyimpan, mengemukakan dan
memikirkan suatu konsep atau kejadian dalam proses yang aktif dan konstruktif.
Melalui proses pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa
dibangun (Bettencourt, 1989).
Pandangan
Konstruktivisme
Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru
ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya (Bettencourt, 1989).
Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai
jawaban yang benar (Von Glasersfeld, 1989).
Gagasan
Konstruktivisme Tentang Pengetahuan
Siswa mengkonstruksi skema kognitif, kategori,
konsep dan struktur dalam membangun pengetahuan, sehingga setiap siswa memiliki
skema kognitif, kategori dan struktur yang berbeda.
Proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi
sangat berpengaruh dalam kontribusi pengetahuan (Reflection/abstraction as
primary).
Faktor
Yang Mempengaruhi Konstruksi Pengetahuan
1) Hasil
konstruksi yang telah dimiliki (Constructed Knowledge)
2) Domain
pengalaman (Domain Of Experience)
3) Jaringan
struktur kognitif (Existing Cognitive Structure)
Makna Belajar
Dalam Konstruktivisme
a. Belajar
berarti membentuk makna
b. Konstruksi
merupakan proses yang terus menerus
c. Belajar
bukan kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi proses pengembangan pemikiran dengan
membuat pengertian
Peran Dalam
Pembelajaran Konstruktivisme
a. Menyediakan
pengalaman belajar
b. Memberikan
kegiatan yang merangsang keingintahuan mahasiswa
c. Menyediakan
sarana yang membuat mahasiswa berpikir produktif
d. Memonitor
dan mengevaluasi hasil belajar mahasiswa
Proses
Pembelajaran Konstruktivisme
a. Orientasi
(Apersepsi)
b. Elisitasi,
Pengungkapan ide siswa
c. Restrukturisasi
ide : (menjelaskan ide, berargumentasi, membangun ide baru dan mengevaluasi ide
baru)
Evaluasi Dalam
Pembelajaran Konstruktivisme
Alternative
Assesment, dengan menggunakan potofolio, observasi proses, simulasi dan
permainan, dinamika kelompok, studi kasus dan performance appraisal
Strategi
Pembelajaran Konstruktivisme
Antara
lain Student-Centered Learning Strategis, dimana siswa belajar aktif, belajar
mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, self-regulated learning dan
generative learning.
Implikasi
Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
Berdasarkan
prinsip bahwa ”Dalam belajar seseorang harus mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya”, maka guru hendaknya mengusahakan agar murid aktif
berpartisipasi dalam membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya.
Ada dua
pertanyaan yang perlu dicermati guru, yaitu :
1) Pengalaman-pengalaman
apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya dapat memperlancar proses
belajar
2) Bagaimana
pembelajar dapat mengungkapkan atau menyajikan apa yang telah mereka ketahui
untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu (Tobin, Trippin dan Gallard,
1994)
Model
pembelajaran yang menggambarkan prinsip konstruktivisme : kesempatan yang luas
bagi siswa untuk mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa dibantu untuk
lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka dalam kegiatan seperti :
diskusi kelompok, debat, menulis paper, membuat laporan penelitian dimajalah,
berdiskusi dengan para ahli, meneliti dilapangan, mengungkapkan pertanyaan dan
sanggahan terhadap apa yang disampaikan guru, dll.
9)
Sosial
Approach
Social Approach merupakan varian
dari pendekatan
constructivism. Pada pendekatan
constructivism siswa secara individu aktif membangun pengetahuan dan
pemahamannya berdasarkan informasi-informasi yang diterimanya dengan melakukan
aktifitas-aktifitas. Pada pendekatan
social constructivism siswa membangun
pengetahuan dan pemahamannya berdasarkan informasi-informasi yang diterimanya
dengan melakukan aktifitas-aktifitas bersama-sama teman
secara berkelompok.
10) Technological Approach
Computer Assisted Instruction (CAI)
mengacu pada program komputer yang materi pembelajaran ini, beberapa di
antaranya juga menilai dan menyimpan catatan pemahaman siswa. (Britannica,
2011)
Penggunaan CAI berasal dari munculnya mikrokomputer
pada 1970-an. Saat ini, sebagian besar program CAI bahan hadir melalui
tutorial, drill dan praktek, simulasi, dan pemecahan masalah pendekatan.
Beberapa Program CAI juga menilai dan menyimpan catatan pemahaman siswa.
Menggunakan komputer memungkinkan instruksi untuk memasukkan
multimedia seperti teks, grafik, suara dan video yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dengan gaya belajar yang berbeda. Dengan menyediakan satu-satu
interaksi dan memproduksi respon langsung terhadap jawaban masukan, komputer
memungkinkan siswa untuk menunjukkan penguasaan dan belajar materi baru dengan
langkah mereka sendiri.
Melihat affordances CAI dan perannya dalam proses
pembelajaran, istilah ini mungkin perlu didefinisikan ulang dalam waktu dekat
untuk memasukkan drill dan praktek, tutorial, dan permainan pendidikan pada
perangkat elektronik genggam.
Berbasis
komputer pendidikan (CBE)
dan instruksi berbasis komputer (CBI) merupakan istilah luas dan dapat
merujuk pada hampir semua jenis komputer digunakan dalam pengaturan pendidikan,
termasuk drill and practice, tutorial, simulasi, manajemen pembelajaran,
latihan tambahan, pemrograman, pengembangan database, menulis menggunakan
pengolah kata, dan aplikasi lainnya.
Komputer-dikelola
instruksi (CMI)
dapat menunjuk pada penggunaan komputer oleh staf sekolah untuk mengatur data
siswa dan membuat keputusan instruksional atau kegiatan di mana komputer
mengevaluasi hasil tes siswa, membimbing mereka untuk mencadangkan sumber daya
instruksional, dan menyimpan catatan kemajuan mereka.
Komputer
diperkaya instruksi (CEI)
didefinisikan sebagai kegiatan belajar di mana komputer
1. menghasilkan data atas permintaan
siswa untuk menggambarkan hubungan dalam model realitas sosial atau fisik
2. mengeksekusi program yang
dikembangkan oleh siswa, atau
3. memberikan pengayaan umum dalam
latihan yang relatif tidak terstruktur dirancang untuk merangsang dan
memotivasi siswa.
PETA
KONSEP
Aslm refleksikan juga tulisan anda?
BalasHapusMaaf pak saat memposting tulisan saya, peta konsep belum saya rubah dalam bentuk jpeg, jadi tidak dapat tampil dalam postingan. Sekarang sudah saya perbaiki. terima kasih.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus